Monday, October 20, 2008

Success Story: “The Strong” Johnny Andrean

Dari bisnis Salon, ke bisnis Roti, lalu ke bisnis Donat.
Inovasi tidak akan pernah berhenti, hanya inovator yang bisa menjadi leader.

J.CO adalah brand produk donat yang sukses untuk ukuran Indonesia. Kompetitor yang ditantangnya bukan main-main, yaitu 'raksasa' Dunkin Donut dan Krispy Kreme dari negara Paman Sam.

Johnny Andrean umumnya dikenal sebagai hair stylist yang ternama di Indonesia. Ia merintis salon pertamanya pada tahun 1978. Saat ini bisnis salonnya telah berkembang lebih dari 160 cabang dengan merek menggunakan namanya di seluruh Indonesia.

Cabang salon Johnny Andrean tidak hanya di kota-kota besar, melainkan juga di beberapa kota menengah dan kecil seperti Cirebon, Solo, dan Malang. Di samping salon, Johnny juga membuka 40 sekolah dan pusat keterampilan gunting rambut.

Setelah hampir 30 tahun bergelut di dunia kecantikan dan salon, Johnny Andrean Salon berhasil menjadi market leader di dunia salon. Tren-tren baru yang dikeluarkan bukan sekedar ikut-ikutan, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dari konsumennya saat itu.

Setelah menguasai bisnis salon, Johhny memasuki bisnis makanan. Itu dilakukannya dengan mengambil master franchise untuk Indonesia bagi gerai roti BreadTalk yang berkantor pusat di Singapura.

Johnny Andrean selaku pemilik master franchise roti BreadTalk sejak Maret 2003 tidak pernah membayangkan toko rotinya diserbu pembeli hingga 1500 konsumen per harinya. Antrian panjang yang sering terlihat di gerai-gerai BreadTalk seolah menjadi tren baru gaya hidup orang di kota besar. Gerai transparan yang mennjukkan proses pembuatan serta wangi khas rotinya memancing pengunjung untuk mampir. Gaya dapur terbuka dan transparan yang diterapkan BreadTalk merupakan salah satu upaya untuk menunjukkan secara langsung kepada konsumen bahwa roti yang dijual benar-benar fresh from the oven.

Saat ini, setiap gerai menjual sekitar 150 macam roti dengan harga Rp 4-8 ribu per potong. Untuk menjaga kualitas, semua roti BreadTalk hanya dijajakan dalam sehari. Artinya, roti yang tidak terjual hari itu akan dimusnahkan dan tidak akan dijajakan pada keesokan harinya. Hal itu sesuai dengan konsep BreadTalk, yakni fresh from the oven. Pemilihan bahan baku sangat selektif, pengolahan bahan baku termasuk resep roti, mengacu pada standar yang diberikan franchisor dan bersifat rahasia. Itu berarti, semua gerai BreadTalk mendapat pasokan bahan baku yang sama dari kantor pusat.

Sementara untuk memperoleh knowledge update dan inovasi terbaru, manajemen BreadTalk Indonesia biasanya mengirim stafnya ke Singapura. Jenis roti yang dijual di masing-masing gerai bisa mencapai ratusan. Paling tidak, tiap bulan BreadTalk meluncurkan 2-3 macam roti baru. Tiap varian memakan waktu 2-3 bulan, mulai dari riset hingga pengembangan produk. Sebelum roti diluncurkan, pihak manajemen akan melakukan survey internal terlebih dahulu. Setelah itu melakukan survey customer insight untuk mencari tahu apakah konsumen bisa menerima rasa yang ditawarkan atau tidak. Dalam survey ini, untuk para pengunjung BreadTalk disajikan beberapa contoh roti rasa baru dan mereka diminta untuk mencicipi. Respon pelanggan akan menjadi acuan bagi manajemen untuk mengembangkan rasa tersebut atau tidak.

Penamaan roti yang terkesan unik dan berubah-ubah dimaksudkan untuk menciptakan karakter khas pada masing-masing produknya sehingga dapat lebih mengakrabkan konsumen terhadap produk. Hal ini dapat dimaklumi mengingat konsumen cenderung lebih menyukai roti yang memiliki rasa standar seperti cokelat, keju, tanpa peduli dengan karakter produknya sendiri. BreadTalk berupaya mengubah persepsi itu. Oleh karena itu, diciptakanlah roti-roti baru dengan rasa yang lebih bervariasi seperti roti pedas (fire & floss), croissant coklat, muffin coklat, dan sosis (hide & seek). Nama-nama unik itu sengaja diciptakan agar konsumen penasaran dan mau mencoba. Itulah yang dimaksud dengan BreadTalk, yakni roti yang berbicara.

"Disini kami berbicara tentang rasa dan nama," ujar Johnny Andrean.

Setelah sukses di bisnis roti, Johnny menggarap donat dengan brand J.CO Donuts & Coffee yang didirikan pertama kali di Supermall Karawaci pada tahun 2005. Cara cepat un kembali ditempuhnya untuk menciptakan fast growing company. Berawal dari donut sebagai makanan favorit, Johnny melakukan survey & research ke berbagai negara seperti Australia, Jepang, Amerika Serikat, dan berbagai negara Eropa sejak tahun 2000. Mimpinya adalah menciptakan donat yang sempurna bukan hanya untuk ukuran Indonesia, tetapi juga untuk seluruh dunia. Maka donat yang diciptakan bukan hanya harus enak tetapi juga sesuai dengan lifestyle yang ada saat ini.

Selain itu, Johnny juga memperhatikan isu-isu penting yang terkait dengan makanan di seuruh dunia, seperti menggunakan bahan-bahan premium coklat yang memiliki kandungan yang baik untuk kesehatan. Contohnya adalah premium coklat dari Belgium dengan kandungan coklatnya yang lebih dari 60%. Rata-rata coklat di Indonesia hanya memiliki kadar coklat sebesar 25%. Semakin tinggi kadar coklatnya maka akan semakin baik untuk kesehatan dan kandungan gulanya juga semakin rendah.

J.CO adalah produk lokal yang idenya datang dari Johnny Andrean. Citra J.CO sengaja dibangun seperti toko donat dan kopi di luar negri. Jika melihat J.CO Donuts & Coffee akan terasa seolah-olah donatnya berasal dari luar negri. Padahal murni buatan lokal. Ini dilakukan untuk memberi kesan global dan international brand sehingga di belahan dunia manapun, J.CO akan lebih mudah diterima.

Sejak gerai pertama dibuka, penambahan gerai pun terus berlangsung seiring dengan perkembangan permintaan pasar. Pada bulan Agustus 2007, J.CO sudah membuka 25 gerai. Dan J.CO berencana akan membuka 10-12 gerai setiap tahun. J.CO pun sudah harir di Malaysia, dan akan menyusul di negara-negara Asia lainnya.

Langkah-langkah apa saja yang dipakai Johnny Andrean dalam melakukan peluncuran produk baru? Berikut dia menjelaskan:
"Yang pertama kami lakukan adalah mempersiapkan produk itu sendiri agar memiliki kualitas yang maksimal dan tentu saja produk tersebut harus berbeda dengan produk yang ada sebelumnya (unik). Setelah produk jadi, biasanya saya mengumpulkan seluruh tim untuk brainstormng mengenai produk tersebut, baik dengan pengujian (testing), penamaan (naming), pengemasan (packaging), sampai bagaimana mengampanyekan produk tersebut (launching).

Johnny mengakui bahwa jenis produk yang mereka jual sudah ada dari jaman dulu, baik donat maupun roti. Namun ia menciptakan inovasi baru sehingga memiliki selling power yang lebih dibandingkan dengan merek yang sudah ada sebelumnya. Follower tidak akan bisa memenangkan permainan. Hanya inovatorlah yang bisa menjadi leader.

Sumber: Launcing for Marketer and Entrepreneur
karya Simon Jonatan

Studi di Jerman (Bagian 1)

Sekarang saya akan menjelaskan ini-itu tentang studi di Jerman. Saya sendiri sedang studi di negara ini, tepatnya di kota Hamburg. Saya sedang menjalankan program bachelor di Jerman, dan saya melihat disini, ternyata mahasiswa Indonesia tidak sebanyak dulu (jamannya Habibie). Mungkin kalian yang baca artikel ini akan tertarik untuk studi atau melanjutkan studi di Jerman.

Mengapa Jerman?

Banyak sekali anak-anak lulusan SMA yang mau studi di luar negeri. Negara-negara pilihan mereka antara lain adalah Malaysia, Australia, Singapura, China, atau Amerika Serikat. Mengapa tidak Jerman? Mengingat dahulu Jerman juga masuk ke dalam list negara-negara pilihan. Namun sekarang jumlah peminatnya sudah menurun. Padahal sekarang ini, Jerman adalah negara paling maju di Eropa dalam berbagai bidang.

Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, Jerman sangat terkenal kualitasnya di bidang Teknik. Mahasiswa Indonesia yang studi di sana kebanyakan mengambil jurusan Teknik Mesin dan Informatik. Tetapi sekarang ini, Jerman sudah terkenal sebagai empunya kualitas paling top bukan hanya di bidang Teknik, melainkan juga di bidang Kedokteran, Ekonomi, Seni dan Budaya, Psikologi, dan lain-lain. Saya sendiri bukan studi di bidang Teknik melainkan di bidang Ekonomi.

Mungkin alasan mengapa menurunnya jumlah peminat yang mau kuliah di jerman adalah karena masalah biaya. Seperti yang kalian tahu (atau mungkin belum tahu), dulu jerman samasekali tidak menetapkan biaya kuliah, alias gratis (ngomong-ngomong, kata “gratis” juga bahasa jerman lho, artinya sama...). Tetapi sekarang, di beberapa negara bagian (termasuk di hamburg) sudah ditetapkan uang kuliah per semester. Naahh, sejak ditetapkan uang kuliah itulah, banyak orang yang menjadi salah kaprah, dan menganggap kalau kuliah di Jerman sangat mahal. Uang kuliah di Jerman sama sekali tidak mahal. Bahkan saya berani bilang sangat murah (kalau dibanding negara lain). Setiap semesternya, kita hanya harus bayar 375 Euro. Itu sekitar 5 juta Rupiah. Murah khan? Apalagi kalau dibanding dengan biaya kuliah di AS dimana per tahun 5000 USD saja sudah yang paling murah. Banyak juga orang yang berpikir bahwa biaya hidup di jerman lah yang mahal. Kalau hal ini, saya juga setuju. Memang biaya hidup di sini mahal, tetapi tidak berbeda jauh dengan biaya hidup di negara favorit lain kok. Kalau dihitung-hitung, jumlah total biaya yang dikeluarkan dalam setahunnya malah jauh lebih sedikit dibanding dengan AS atau Aussie.

Kisah John Baker (Bagian 1)

Masa depan tampak carah bagi John Baker, dua puluh empat tahun, di musim semi 1969. Pada puncak karier atletiknya yang mengagumkan, dipuji oleh para penulis rubrik olahraga sebagai salah seorang pelari tercepat di dunia, John telah mematok impiannya untuk mewakili Amerika Serikat pada Olimpiade 1972.

Tidak ada satu pun hal yang pada saat dia masih kecil mengisyratkan keistimewaannya tersebut. Dengan perawakan kecil dan lebih pendek dari sebagian besar teman-teman remajanya di Albuquerque, dia pernah dianggap “sama sekali tidak punya koordinasi” sehingga tidak masuk hitungan sebagai atlet lari di sekolah menengahnya. Namun, sesuatu terjadi pada tahun keduanya di SMA, sesuatu yang mengubah jalan hidupnya.
Untuk beberapa waktu lamanya, pelatih lari di SMA Manzano, Bill Wolffarth, berusaha membujuk pelari berperawakan tinggi yang sungguh menjanjikan, John Haaland, sahabat dari John Baker, untuk bergabung dalam tim lari. Haaland menolak. “Aku sajalah yang bergabung dalam tim lari,” begitu John Baker menyarankan pada suatu hari. “Mungkin nanti Haaland mau juga bergabung.” Wolffarth setuju, dan cara itu berhasil. Dan John Baker pun menjadi pelari.

Energi yang Bergelora

Kesempatan pertama tahun itu adalah lomba lari lintas alam 2,5km melalui kaki bukit di bagian timur Albuquerque. Sebagian besar mata pennonton tertuju pada juara lintas alam negara bagian, Lloyd Goff. Segera setelah pistol ditembakkan, para pelari tampak lari berurutan sesuai dengan perkiraan, dengan Goff berada di posisi terdepan dan Haaland tepat di belakangnya. Setelah empat menit berlalu, para pelari menghilang satu demi satu ke balik bukit landai di tikungan lintasan yang jauh. Satu menit berlalu. Dua menit. Lalu, seorang pelari muncul sendirian. Pelatih Wolffarth menyenggol seorang asisten. “Ini dia, Goff,” katanya. Lalu, dia mengangkat teropongnya. “Astaga!” dia berterik. “Itu bukan Goff! Itu Baker!”
Dengan meninggalkan sekelompok pelari yang tercengang, jauh di belakangnya, Baker melewati garis finis sendirian. Waktunya 8:03:5, mencatat rekor baru.
Apa yang terjadi di sisi jauh bukit itu? Belakangan Baker menceritakannya. Ketika lomba sudah berlangsung setengah jalan, sambil berlari di belakang para pelari di depannya, dia bertanya pada dirinya sendiri: Apakah aku sudah melakukan yang terbaik? Dia tidak tahu. Dengan memusatkan pandangan matanya ke punggung pelari yang berada tepat di depannya, Baker menyingkirkan semua hal lain yang ada di pikirannya. Hanya satu hal yang dipikirkannya: kejar dan susul pelari itu. Lalu lakukan hal yang sama pada pelari berikutnya. Energi cadangan yang tidak disadari langsung muncul melalui tubuhnya. “Rasanya seperti terhipnotis,” Baker mengingat-inget lagi. Satu demi satu dia menyusul pelari lainnya. Sambil tidak memperdulikan kelelahan yang mencabik-cabik ototnya, dia mempertahankan laju larinya sampai melewati garis finis dan tersungkur karena kelelahan.
Apakah hasil lomba tersebut hanyalah senuah kebetulan belaka? Seiring dengan bergulirnya musim, Wolffarth mengikutsertakan Baker dalam beberapa lomba lari dan hasilnya selalu sama. Begitu berada di jalur lomba, pemuda remaja rendah hati dan periang ini menjadi pesaing yang gigih dan pantang menyerah. Seorang pelari yang berlari dengan “hati” yang tidak sudi kalah. Menjelang berakhirnya tahun pelajaran di kelas 2 SMA, baker berhasil memecahkan enam rekor lari, dam selama tahun pelajaran di kelas 3 SMA, dia dianggap pelari terandal yang pernah ada di negara bagiannya. Saat itu usianya belum genap 18 tahun.

John si “Geram”

Pada musim gugur 1962, Baker kuliah di New Mexico University di Albuquerque dan mempergiat latihannya. Setiap pagi buta, dengan membawa kaleng semprot untuk menakut-nakuti anjing yang menggonggong, dia berlari melalui jalanan kota, taman, dan lapangan golf, empat puluh kilometer setiap hari. Latihan itu terbukti bermanfaat. Tidak lama kemudian, di Abilene, Tulsa, Salt Lake City, dimanapun New Mexico Lobos (tim New Mexico University) bertanding, John “Si Geram” Baker membuat para peramal tercengang dengan mengalahkan para pelari unggulan.
Pada musim semi 1965, ketika Baker masih di tingkat dua, tim lari yang paling ditakuti seluruh negeri adalan Southern Califonia University. Jadi, ketika tim Trojans yang perkasa dari universitas tersebut bertanding ke Albuquerque untuk pertandingan antar-regu, para peramal olahraga meramalkan kejatuhan tim Lobos. Kemenangan, begitu kata mereka, akan direbut “Tiga Besar” U.S.C – Chris Johnson, Doug Calhoun, dan Bruce Bess, dengen urutan seperti itu. Ketiganya memiliki waktu yang lebih baik daripada Baker.
Baker memimpin untuk satu putaran, lalu dengan sengaja melambat ke posisi keempat. Dengan agak kebingungan, Calhoun dan Bess bergerak dengan kurang nyaman ke jajaran depan yang ditinggalkan Baker. Johnson, yang tampak lelah, tetap berada di belakang. Di tikungan pada posisi jauh pada putaran ketiga, secara serempak, Baker dan Johnson bergerak untuk memimpin, dan bertabrakan. Sambil bertahan untuk tetap berdiri, Baker kehilangan beberapa meter yang berharha dan Johnson bergerak untuk memimpin. Ketika jarak lari tinggal sekitar 300 meter lagi, Baker melesat melakukan sprint-nya yang terakhir. Mula-mula Bess yang disusul, lalu Calhoun. Di tikungan terakhir terlihat Johnson dan Baker nyaris berdampingan. Dengan lambat tapi pasti, Baker beringsut ke depan. Dengan kedua tangan membentuk V sebagai tanda kemenangan di atas kepalanya, dia menyentuh pita garis finis. Perbedaan waktu hanya tiga detik. Terinspirasi oleh kemenangan Baker, tim Lobos menyapu bersih setiap lomba berikutnya, menghancurkan semangat tim Trojans yang dipaksa menelan kekalahan terburuk ketiga dalam kurun waktu enam puluh lima tahun.

Pelatih yang Peduli

Sesudah lulus, Baker mempertimbangkan beberapa pilihan. Ada tawaran untuk menjadi pelatih universitas, tetapi dia sudah lama merencanakan untuk melatih anak-anak. Selain itu dia juga harus mempertimbangkan kegiatannya sebagai pelari. Apakah dia cukup baik untuk mengikti Olimpiade? Pada akhirnya, dia menerima pekerjaan yang membuatnya dapat mewujudkan kedua ambisi terebut. Dia menjadi pelatih di SD Aspen di Albuquerque, dan pada saat yang sama dia memperbaharui latihan kerasnya dengan sasaran bisa mengikuti Olimpiade 1972.
Di Aspen, aspek lain dari watak Baker muncul. Di lapangan yang menjadi arena pelatihannya, tidak ada anak yang menjadi bintang yang menonjol sendirian, dan tidak ada kecaman jika ada anak yang kurang kemampuannya. Tuntutannya hanya satu: setiap anak harus melakukan yang terbaik sesuai dengan kepedulian yang tulus bagi kemajuan murid-muridnya, memicu reaksi yang sangat positif. Keluhan anak-anaklah yang pertama kali disampaikan kepada Pak Pelath Baker. Dan, baik keluhan itu nyata atau dibuat-buat, setiap keluhan ditanggapi seakan-akan pada saat itu keluhan tersebut merupakan masalah yang paling penting di dunia. Dan kata-kata yang menyebar adalah: “Pelatih Peduli.”
Di awal Mei 1969, tidak lama sebelum ulang tahunnya yang ke-25, Baker menyadari bahwa dia sering merasa terlalu cepat letih pada saat sedang berlatih. Dua minggu kemudian, dia merasakan sakit dada, dan pada suatu pagi menjelang akhir bulan, dia bangun dengan selangkangan bengkak yang terasa nyeri. Dia memeriksakan diri ke dokter.
Menurut urolog Edward Johnson, gejala yang dialami Baker angat berbahaya, dan harus segera dilakukan operasi untuk menyelidikinya. Operasi itu mempertegas kekhawatiran Johnson. Sebuah sel di salah satu buah zakar Baker tiba-tiba pecah dan tumbuh menjadi kanker dan telah menyebar. Walaupun Dr. Johnson tidak mengatakannya, dia memperkirakan Baker memiliki kesempatan hidup kira-kira enam bulan lagi, walaupun operasi kedua dilakukan.
Saat berada di rumah selama masa penyembuhan untuk menjalani operasi kedua, Baker menghadapi kenyataan hidupnya yang memilukan itu. Tidak akan ada lagi kegiatan lari, dan tidak ada Olimpiade baginya. Hampir dapat dipastikan kariernya sebagai pelatih sudah berakhir. Yang paling buruk, keluarganya menghadapi bulan-bulan penuh penderitaan.

Saturday, October 18, 2008

Warum brauchen wir Geld?

Warum brauchen wir Geld?

Stellen wir uns vor, wir wollten auf einem Wochenmarkt Brot kaufen, ohne dass Geld existierte. In diesem Fall müssten wir auf dem Markt selbst Güter verkaufen können, um das Brot zu bezahlen. Nehmen wir an, wir hätten uns auf die Herstellung von Runkelrüben spezialisiert. Nun wäre es aus unserer Sicht natürlich am einfachsten, wir könnten Brot gegen unsere Runkelrüben tauschen. Aber was geschieht, wenn der Brotverkäufer gar keine Runkelrüben mag? Dann kommt das Geschäft nicht zustande, zumindest nicht direkt.

Es mag sein, dass wir durch die Einschaltung deines Dritten doch noch Brot erhalten. Wenn der Brotverkäufer zwar keine Runkelrüben, dafür aber Kichererbsen mag und ein auf dem Markt anwesender Produzent von Kichererbsen Interrese zeigte, das eingetauschte Brot gegen unsere Runkelrüben zu tauschen, kämen wir auf diesem Umweg doch noch zu unserem Brot. Aber das ist alles sehr kompliziert und unsicher.

Mit einer Ware, die von allen Beteiligten akzeptiert wird, kommen die Geschäfte dagegen ganz leicht zustande. Geld vereinfacht den Tausch von Gütern (und Dienstleistungen) ganz erheblich. Erst Geld lässt einen Markt (und damit auch eine ganze Marktwirtschaft) effizient funktionieren.

Doch die Funktion des Geldes beschränkt sich nicht auf die eines Zahlungsmittels. Anders als die schnell verderblichen Runkelrüben oder Kichererbsen ermöglicht Geld, Werte zu speichern, zu bewahren und damit auch zu akkumulieren und zu verleihen. Die Bildung erheblicher Vermögen und die Finanzierung großer Investitionen waren erst in der Geldwirtschaft möglich. Geld ist eine der Grundvoraussetzungen für eine dynamische Ökonomie. Lenin wird der Satz zugeschrieben, wer den Kapitalismus vernichten wolle, müsse sein Geld vernichten. Das war nicht absurd.

Um als Wertaufbewahrungsmittel zu dienen, darf Geld nicht beliebig vermehrbar sein. Aus diesem Grund dienten Metalle wie Gold und Silber lange Zeit als Geld, Kieselsteine dagegen nie.

In unsere Zeit übertragen hat diesen Gedanken der Nobelpreisträger Milton Friedman. Was passiert, fragte Friedman, wenn ein Hubschrauber so viele Banknoten abwirft, dass sich umaufende Geld verdoppelt? Viele Menschen mögen glauben, der unverhoffte Geldsegen würde sie reicher machen. Wie gefehlt, sagt Friedman. Denn die Produzenten würden die Gelegenheit nutzen, um ihre Preise deutlich zu erhöhen. Am Ende hätten die Menschen zwar mehr Geld in der Tasche, könnten aber nicht mehr Güter kaufen.

Geld ohne Wert ist kein Geld mehr. Der deutsche Ökonom Georg Friedrich Knapp (1842 bis 1926) entwickelte vor rund 90 Jahren die damals populäre „Staatliche Theorie des Geldes“, in der er postulierte, Geld entstehe und existiere durch Anordnung des Staates. Zwar wird Geld bis heute überwiegend von Staaten ausgegeben, doch seine Verwendung lässt sich nicht anordnen, sbald das Geld seinen Wert verloren hat, wie jede große Inflation zeigt. Wo das Geld nicht mehr taugt, hat der Staat sein recht verloren.

Wie das Geld unter die Menschen kam, ist nicht eindeutig. Viele Ökonomen meinen, die Menschen hätten beim Gütertausch den Nutzen eines allseits anerkannten Tausch- und Wertaufbewahrungsmittel erkannt und sich nach einem geeigneten Material umgesehen. In Europa und Klein-asien, wo schon vor Jahrtausenden Metalle abgebaut wurden, setzen sich Metallstücke, die Münzen, durch, weil sie solide, problemlos untereinander vergleichbar und leicht transportierbar waren. Auf in der Pazifik gelegenen Insel Yap, wo es keine Metalle gibt, benutzten die Eingeborenen ein aus einem seltenen Kalk bestehendes Steingeld, anderswo fanden Vogelfedern, Metallringe oder auch Rinder Verwendung.

Eine alternative Theorie stammt von dem deutschen Wissenschaftler Bernard Laum (1884 bis 1974), der von der These nichts hielt, Geld sei aus Nützlichkeitserwägungen entstanden. Laum vertrat die in dem Buch „Heiliges Geld“ entwickelte Sakraltheorie: Danack entstand Geld als ein religiöses Opfer, indem in der Antike Priester durch die Hingabe von Metallen Gegenleistungen von den Göttern erhofften. Wobei sich im Laufe der Zeit feste „Tarife“ für bestimmte göttliche Leistungen herausgebildet hätten.

Im Laufe der Zeit sei denn die Staat an die Stelle der Gottheit getreten und der Beamte an die Stelle des Priesters, behauptet Laum. Das Ergebnis bestand in der Verweltlichung und Ausbreitung der Geldwirtschaft. Laums Erklärung ist sehr umstritten, aber noch vor 20 Jahren gehörte sie zum Standerdstoff deutscher Lehrbücher über das Geldwesen.

Um seine nutzenstiftende Rolle als Zahlungsmittel und Wertspeicher zu wahren, musste das Geld um Laufe der wirtschaftlichen Entwicklung mehrfach sein Gewand wechseln, Münzgeld war für antike und mittelalterliche Gesellschaften ideal, aber der spätestens mit der Industrialisierung einsetzende sehr rasch wachsende Geldbedarf erforderte einen neuen, leichter vermehrbaren und handlicheren „Stoff“.

Hier erwies sich das Papier als optimales Rohmaterial, auch wenn die „Zettel“, wie man Banknoten anfangs abschätzend nannte, lange um Anerkennung kämpfen mussten. Mit dem Papiergeld wurden auch Manipulation des Geldes leichter, und nicht zufällig fallen alle großen Inflationen in die Zeit der Banknot. Derweil kommt auch die Banknote langsam außer Mode – ein immer größerer Teil der Zahlungen findet unbar statt.