Monday, October 20, 2008

Kisah John Baker (Bagian 1)

Masa depan tampak carah bagi John Baker, dua puluh empat tahun, di musim semi 1969. Pada puncak karier atletiknya yang mengagumkan, dipuji oleh para penulis rubrik olahraga sebagai salah seorang pelari tercepat di dunia, John telah mematok impiannya untuk mewakili Amerika Serikat pada Olimpiade 1972.

Tidak ada satu pun hal yang pada saat dia masih kecil mengisyratkan keistimewaannya tersebut. Dengan perawakan kecil dan lebih pendek dari sebagian besar teman-teman remajanya di Albuquerque, dia pernah dianggap “sama sekali tidak punya koordinasi” sehingga tidak masuk hitungan sebagai atlet lari di sekolah menengahnya. Namun, sesuatu terjadi pada tahun keduanya di SMA, sesuatu yang mengubah jalan hidupnya.
Untuk beberapa waktu lamanya, pelatih lari di SMA Manzano, Bill Wolffarth, berusaha membujuk pelari berperawakan tinggi yang sungguh menjanjikan, John Haaland, sahabat dari John Baker, untuk bergabung dalam tim lari. Haaland menolak. “Aku sajalah yang bergabung dalam tim lari,” begitu John Baker menyarankan pada suatu hari. “Mungkin nanti Haaland mau juga bergabung.” Wolffarth setuju, dan cara itu berhasil. Dan John Baker pun menjadi pelari.

Energi yang Bergelora

Kesempatan pertama tahun itu adalah lomba lari lintas alam 2,5km melalui kaki bukit di bagian timur Albuquerque. Sebagian besar mata pennonton tertuju pada juara lintas alam negara bagian, Lloyd Goff. Segera setelah pistol ditembakkan, para pelari tampak lari berurutan sesuai dengan perkiraan, dengan Goff berada di posisi terdepan dan Haaland tepat di belakangnya. Setelah empat menit berlalu, para pelari menghilang satu demi satu ke balik bukit landai di tikungan lintasan yang jauh. Satu menit berlalu. Dua menit. Lalu, seorang pelari muncul sendirian. Pelatih Wolffarth menyenggol seorang asisten. “Ini dia, Goff,” katanya. Lalu, dia mengangkat teropongnya. “Astaga!” dia berterik. “Itu bukan Goff! Itu Baker!”
Dengan meninggalkan sekelompok pelari yang tercengang, jauh di belakangnya, Baker melewati garis finis sendirian. Waktunya 8:03:5, mencatat rekor baru.
Apa yang terjadi di sisi jauh bukit itu? Belakangan Baker menceritakannya. Ketika lomba sudah berlangsung setengah jalan, sambil berlari di belakang para pelari di depannya, dia bertanya pada dirinya sendiri: Apakah aku sudah melakukan yang terbaik? Dia tidak tahu. Dengan memusatkan pandangan matanya ke punggung pelari yang berada tepat di depannya, Baker menyingkirkan semua hal lain yang ada di pikirannya. Hanya satu hal yang dipikirkannya: kejar dan susul pelari itu. Lalu lakukan hal yang sama pada pelari berikutnya. Energi cadangan yang tidak disadari langsung muncul melalui tubuhnya. “Rasanya seperti terhipnotis,” Baker mengingat-inget lagi. Satu demi satu dia menyusul pelari lainnya. Sambil tidak memperdulikan kelelahan yang mencabik-cabik ototnya, dia mempertahankan laju larinya sampai melewati garis finis dan tersungkur karena kelelahan.
Apakah hasil lomba tersebut hanyalah senuah kebetulan belaka? Seiring dengan bergulirnya musim, Wolffarth mengikutsertakan Baker dalam beberapa lomba lari dan hasilnya selalu sama. Begitu berada di jalur lomba, pemuda remaja rendah hati dan periang ini menjadi pesaing yang gigih dan pantang menyerah. Seorang pelari yang berlari dengan “hati” yang tidak sudi kalah. Menjelang berakhirnya tahun pelajaran di kelas 2 SMA, baker berhasil memecahkan enam rekor lari, dam selama tahun pelajaran di kelas 3 SMA, dia dianggap pelari terandal yang pernah ada di negara bagiannya. Saat itu usianya belum genap 18 tahun.

John si “Geram”

Pada musim gugur 1962, Baker kuliah di New Mexico University di Albuquerque dan mempergiat latihannya. Setiap pagi buta, dengan membawa kaleng semprot untuk menakut-nakuti anjing yang menggonggong, dia berlari melalui jalanan kota, taman, dan lapangan golf, empat puluh kilometer setiap hari. Latihan itu terbukti bermanfaat. Tidak lama kemudian, di Abilene, Tulsa, Salt Lake City, dimanapun New Mexico Lobos (tim New Mexico University) bertanding, John “Si Geram” Baker membuat para peramal tercengang dengan mengalahkan para pelari unggulan.
Pada musim semi 1965, ketika Baker masih di tingkat dua, tim lari yang paling ditakuti seluruh negeri adalan Southern Califonia University. Jadi, ketika tim Trojans yang perkasa dari universitas tersebut bertanding ke Albuquerque untuk pertandingan antar-regu, para peramal olahraga meramalkan kejatuhan tim Lobos. Kemenangan, begitu kata mereka, akan direbut “Tiga Besar” U.S.C – Chris Johnson, Doug Calhoun, dan Bruce Bess, dengen urutan seperti itu. Ketiganya memiliki waktu yang lebih baik daripada Baker.
Baker memimpin untuk satu putaran, lalu dengan sengaja melambat ke posisi keempat. Dengan agak kebingungan, Calhoun dan Bess bergerak dengan kurang nyaman ke jajaran depan yang ditinggalkan Baker. Johnson, yang tampak lelah, tetap berada di belakang. Di tikungan pada posisi jauh pada putaran ketiga, secara serempak, Baker dan Johnson bergerak untuk memimpin, dan bertabrakan. Sambil bertahan untuk tetap berdiri, Baker kehilangan beberapa meter yang berharha dan Johnson bergerak untuk memimpin. Ketika jarak lari tinggal sekitar 300 meter lagi, Baker melesat melakukan sprint-nya yang terakhir. Mula-mula Bess yang disusul, lalu Calhoun. Di tikungan terakhir terlihat Johnson dan Baker nyaris berdampingan. Dengan lambat tapi pasti, Baker beringsut ke depan. Dengan kedua tangan membentuk V sebagai tanda kemenangan di atas kepalanya, dia menyentuh pita garis finis. Perbedaan waktu hanya tiga detik. Terinspirasi oleh kemenangan Baker, tim Lobos menyapu bersih setiap lomba berikutnya, menghancurkan semangat tim Trojans yang dipaksa menelan kekalahan terburuk ketiga dalam kurun waktu enam puluh lima tahun.

Pelatih yang Peduli

Sesudah lulus, Baker mempertimbangkan beberapa pilihan. Ada tawaran untuk menjadi pelatih universitas, tetapi dia sudah lama merencanakan untuk melatih anak-anak. Selain itu dia juga harus mempertimbangkan kegiatannya sebagai pelari. Apakah dia cukup baik untuk mengikti Olimpiade? Pada akhirnya, dia menerima pekerjaan yang membuatnya dapat mewujudkan kedua ambisi terebut. Dia menjadi pelatih di SD Aspen di Albuquerque, dan pada saat yang sama dia memperbaharui latihan kerasnya dengan sasaran bisa mengikuti Olimpiade 1972.
Di Aspen, aspek lain dari watak Baker muncul. Di lapangan yang menjadi arena pelatihannya, tidak ada anak yang menjadi bintang yang menonjol sendirian, dan tidak ada kecaman jika ada anak yang kurang kemampuannya. Tuntutannya hanya satu: setiap anak harus melakukan yang terbaik sesuai dengan kepedulian yang tulus bagi kemajuan murid-muridnya, memicu reaksi yang sangat positif. Keluhan anak-anaklah yang pertama kali disampaikan kepada Pak Pelath Baker. Dan, baik keluhan itu nyata atau dibuat-buat, setiap keluhan ditanggapi seakan-akan pada saat itu keluhan tersebut merupakan masalah yang paling penting di dunia. Dan kata-kata yang menyebar adalah: “Pelatih Peduli.”
Di awal Mei 1969, tidak lama sebelum ulang tahunnya yang ke-25, Baker menyadari bahwa dia sering merasa terlalu cepat letih pada saat sedang berlatih. Dua minggu kemudian, dia merasakan sakit dada, dan pada suatu pagi menjelang akhir bulan, dia bangun dengan selangkangan bengkak yang terasa nyeri. Dia memeriksakan diri ke dokter.
Menurut urolog Edward Johnson, gejala yang dialami Baker angat berbahaya, dan harus segera dilakukan operasi untuk menyelidikinya. Operasi itu mempertegas kekhawatiran Johnson. Sebuah sel di salah satu buah zakar Baker tiba-tiba pecah dan tumbuh menjadi kanker dan telah menyebar. Walaupun Dr. Johnson tidak mengatakannya, dia memperkirakan Baker memiliki kesempatan hidup kira-kira enam bulan lagi, walaupun operasi kedua dilakukan.
Saat berada di rumah selama masa penyembuhan untuk menjalani operasi kedua, Baker menghadapi kenyataan hidupnya yang memilukan itu. Tidak akan ada lagi kegiatan lari, dan tidak ada Olimpiade baginya. Hampir dapat dipastikan kariernya sebagai pelatih sudah berakhir. Yang paling buruk, keluarganya menghadapi bulan-bulan penuh penderitaan.

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book

No comments: