Saturday, November 8, 2008

Kisah John Baker (Bagian 2)

Ujung Tebing yang Curam


Pada hari Minggu sebelum operasi kedua dilaksanakan, Baker pergi sendirian dari rumah menuju pegunungan dengan mengendarai mobil. Dia pergi selama beberapa jam. Ketika dia pulang di senja hari, terlihat perubahan jelas dalam semangatnya. Senyuman khasnya, yang akhir-akhir ini hanya muncul seperti sebuah topeng, kembali lagi tampak alami dan tulus. Lebih-lebih tuntuk pertama kalinya dalam dua minggu, dia membicarakan rencana masa depannya. Agak larut pada malam itu, dia menceritakan kepada Jill, adiknya, apa yang terjadi pada hari yang cerah di bulan Juni itu.


Dia mengendarai mobil ke Sandia Crest, puncak gunung megah setinggi tiga ribu meter yang menjulang menghiasi langit di Albuquerque bagian timur. Sambil duduk di dalam mobilnya dekat ujung tebing yang curam, dia memikirkan penderitaan berkelanjutan yang akan dialami keluarganya akibat kindisinya tersebut. Dia dapat mengakhiri penderitaan itu, dan juga penderitaannya, dalam sekejap mata. Sambil berdoa dalam hati, dia menghidupkan mesin mobil dan hendak menginjak rem darurat. Tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat di depan matanya. Wajah anak-anak SD Aspen, anak-anak yang diajarnya untuk melakukan yang terbaik, meskipun sulit. Warisan apakan yang ditinggalkannya bagi mereka jika dia bunuh diri? Karena rasa malu yang amat mendalam yang menghujam kalbunya, dia mematikan kunci kontak, terkulai di tempat duduknya dan menangis. Setelah beberapa lama, dia sadar bahwa ketakutannya sudah mereda, dan dia merasakan kedamaian. “Beberapapun waktu yang kumiliki, akan kubaktikan untuk anak-anak.” begitu katanya dalam hati.

Pada bulan September, setelah menjalani operasi menyeluruh dan perawatan selama musim panas, Baker kembali menekuni pekerjaannya dan ke dalam jadwalnya yang sudah padat itu dia menambahkan sebuah tekad – olahraga bagi penyandang cacat. Apapun keterbatasan yang disandang anak-anak, mereka yang tadinya hanya bisa berdiri tanpa peran apa-apa di pinggir lapangan, saai ini diberi tugas sebagai “Pencatat Waktu Pelatih” atau “Ketua Pengawas Peralatan.” Semuanya mengenakan kaus resmi SD Aspen, semua berhak mendapatkan Pita Pelatih Baker karena telah berusaha keras. Baker membuat sendiri pita itu di rumah pada malam hari, dari bahan yang dibeli dengan uangnya sendiri.


Penderitaan yang Sunyi.


Menjelang hari Thanksgiving, surat-surat yang memuji Baker dari orang tua yang berterimakasih berdatangan hampir setiap hari di Aspen (lebih dari 500 surat yang diterima di situ dan di kediaman Baker, dalam waktu kurang dari satu tahun). “Dulu, putraku bagaikan monster di pagi hari.” tulis seorang ibu. “membangunkannya, memberinya makan, dan memaksanya berangkat ke sekolah adalah hal yang paling sulit. Sekarang, dia tidak sabar untuk berangkat ke sekolah. Dia Ketua Infield Baker.”


“Meskipun putraku sering mengatakannya, aku tidak percaya kalau ada Superman di Aspen,” tulis ibu yang lain. “Diam-diam aku lewat dengan mengendarai mobil untuk melihat Pak Pelatih Baker bersama dengan anak-anak. Anakku ternyata benar.” Dan yang ini dari dua orang kakek dan nenek: “Di seolah lain, cucu perempuan kamu sangat sengsara karena sifatnya yang canggung. Lalu, pada tahun yang menakjubkan di Aspen, Pak Pelatih Baker memberinya nilai A karena cucu kami telah berusaha sebaik-baiknya. Semoga Tuhan memberkati anak muda ini, yang telah membangitkan rasa percaya diri pada seorang anak yang pemalu.”

Pada bulan Desember, ketika kunjungan rutin ke Dr. Johnson, Baker mengeluh sakit enggorokan dan sakit kepala. Uji laboratorium menunjukkan bahwa keganasan kankernye telah menyebar ke leher dan otak. Selama empat bulan, Johnson baru tahu bahwa Baker menyembunyikan derita sakit parahnya dengan menggunakan kekuatannya yang menakjubkan untuk berkonsentrasi mengabaikan rasa sakitnya, sama seperti yang digunakannya untuk mengabaikan rasa lelah etika dia lari. Johnson menyarankan suntikan penghilang rasa sakit. Baker menggelengkan kepalanya. “Aku ingin melatih anak-anak selama aku mampu.” ujarnya. “Suntikan itu akan mengumpulkan daya reaksiu.”

“Sejak saat itu,” Johnson belakangan mengatakan, “aku memandang John Baker sebagai salah seorang yang paling tidak egois yang pernah kukenal.

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book

No comments: